Sabtu, 06 April 2013
RIA SI GALANG
Karya:
Nurul Hidayah
Masa kecil yang suram. Mungkin itu yang terlintas di benak Ria, gadis SMA
yang saat ini berumur 16 tahun. Masa kecilnya selama duduk di bangku SD menjadi
pengalaman yang tak mungkin dia lupakan bersama ayahnya. Pak Mustafa, itulah
panggilan untuk ayah Ria. Sedangkan ibunya telah lama pergi ke alam lain
meninggalkan Ria ketika ia berumur dua tahun.
Di pagi yang cerah, semestinya wajah cerah dan ceria terpaut pada wajah
anak-anak kecil. Namun berbeda dengan Ria. Setiap pagi ia harus menerima makian
dari ayahnya. Sebelum berangkat ke sekolah, ia harus menata es lilin ke dalam
termos es dan membawanya ke sekolah untuk dijual. Sebenarnya, hasil yang
diperolehnya tidak sebanding dengan penderitaannya. Seorang gadis kecil yang
baru kelas 3 SD seperti Ria setiap pagi harus membawa termos yang berisi es
yang beratnya sekitar 10 kg ke sekolah yang jaraknya sekitar 1 km dari
rumahnya. Bukan hanya itu, ketika jam istirahat, Ria tidak bisa bermain dengan
teman-tamannya. Dia harus menunggui jualannya. Sebab apabila ia ikut bermain,
anak-anak yang jahil pasti akan mengambil es lilinnya tanpa permisi.
“Ria, beli esmu donk, haus nech!” pinta Susi yang menghampiri Ria yang
sedang menunggui esnya ketika jam istirahat.
“Mau beli berapa? Semuanya yach supaya aku bisa bermain sama kalian.”
“Wich,,, uang dari mana aku beli esmu sebanyak itu? Aku mau beli 2 aza
dech, Rp200,- toch harganya?” kata Susi dengan gayanya yang centil.
“Ech, kalau kamu mau main, ya ikut aja main. Kan nggak apa-apa kalau
ditinggal bentar aja. Kita main sama-sama,” sambung Ani yang baru datang.
“Sebenarnya aku pengen banget ama kalian tapi.......”
Belum selesai Ria berbicara, tiba-tiba saja Susi dan Ani menarik tangannya
dan mengajaknya bermain karet bersama teman-temannya. Ria pun sangat bahagia
dan tertawa ceria sehingga ia lupa dengan es lilin yang harus dia jual.
Ketika Ria sedang asyik bermain, tiba-tiba ada segerombolan anak laki-laki
yang mendekati termos es milik Ria yang diletakkan di bawah bunga Bougenville yang
bunganya sangat rimbun. Salah seorang dari mereka membuka tutup termos tersebut
dan berkata, “Ech Man, ada rezeki nech. Kebetulan panas-panas gini ada es
gratis.”
“Wach, bener juga. Aku sekarang ini haus banget loh cah. Ayo kita bagi-bagi
aja dan habisin semuanya, mumpong gratis iki loh, ya kan?” Tukas Armand dengan
logat Jawanya yang kental dan dengan gayanya yang seperti preman jalanan.
“E...e...e...e...e...Jangan ki’ ambil itu. Itu es kan dagangannya Ria.
Tidak kasian ki’ kah ama Ria, cape-cape mi dia bawa itu es dari rumah, terus
kau ambili seenakmu. Keterlaluan ko itu,” kata Bacco yang memang tahu
keseharian Ria.
“Alaah...jangan sok mau jadi pahlawan deh koe. Mentang-mentang
tetangganya,” timpal Armand lagi.
Akhirnya Bacco pun tidak bisa mencegah teman-temannya untuk mengambil es
lilin Ria. Dia hanya bisa terpaku dan tidak mempunyai keberanian untuk
melawannya.
Bel tanda masuk berbunyi. Seluruh siswa SD Tunas Mekar Majumaju yang
siswanya berasal dari berbagai suku berlarian menuju kelasnya masing-masing dan
menghentikan permainan mereka. Begitu juga dengan Ria, Ani, Susi, dan
teman-temannya yang lain.
“Ech, Ria...es lilinmu masih ada nggak? Aku haus banget nih, daripada aku
nanti di kelas kepanasan kayak ulat keket, aku beli satu aja deh mumpung guru
juga belum masuk,” kata Susi kepada Ria.
“Iya, masih ada. Ayo ikut, ku ambilkan dulu di termos.”
Tiba-tiba Ria pun tercengang setelah mendapati termosnya kosong. Yang
tersisa hanyalah plastik-plastik bekas es lilin yang berserakan di sekitar
tempat Ria meletakkan termosnya. Seketika itu matanya pun memerah dan tanpa ia
sadari, meneteslah air mata di pipinya. Pikirannya berkecamuk. Uang yang
dikantonginya hanya Rp. 2000,00 tapi esnya telah habis tanpa menghasilkan uang.
Susi pun tidak bisa berbuat apa-apa.
“Ria, diam donk! Nanti kita laporkan ke guru. Pasti ini ulah anak-anak
usil, si Armand cs itu!” kata Susi mencoba menenangkan Ria sambil mengusap air
mata di pipi Ria.
“Tidak usah Sus, nanti mereka balas dendam. Ya kalau memang betul mereka
pelakunya, kalau bukan gimana? Kan aku sendiri yang nggak enak,” kata Ria
sambil terus terisak.
“Siapa lagi sih selain mereka yang bisa jail kayak gitu? Aku yakin pasti si
Armand cs pelakunya,” kata Susi dengan yakin.
“Udah deh nggak apa-apa.”
Jam pulang sekolah tiba. Dengan mata bengkak, Ria pulang dengan membawa
termos esnya yang sudah kosong.
“Assalamu’alaikum...”
“Laam...,” jawab Pak Mustafa dengan jawaban yang tidak semestinya. Dia
duduk di sofa usang yang terletak di ruang tamu sambil menikmati sepuntung
rokok kualitas rendah. Kemudian berkata,”E...e...e...e...e mau kemana kamu?
Mana setorannya? Kenapa matamu bengkak, hah?!”
Ria pun mendekati bapaknya. Kemudian menyerahkan uang Rp. 2000,00 kepada
bapaknya,” ini Pak uangnya.”
“Kenapa Cuma Rp. 2000,00? Kemana yang lain?”
“Emmm...anu Pak, anu...ta...ta...tadi waktu istirahat saya main bersama
teman-teman, tapi ketika sudah masuk, saya lihat termosnya sudak kosong Pak.”
Seketika itu Pak Mustafa dengan spontanitas berdiri dan melepas ikat
pinggang dari celana yang ia pakai dan mencambukkan ke tubuh gadis kecil yang
malang itu.
“Ampun Pak....ampun... saya tidak akan mengulanginya lagi. Ampun Pak....!”
pinta Ria kepada bapaknya. Jeritan tangisnya memekakkan telinga, tetapi dengan
kejamnya bapak yang bengis itu terus mencambuki anaknya.
Ria pun tersadar dari lamunannya. Kini, di masa-masa SMA ini, dia harus
semakin kuat dan tabah dalam menjalani hidupnya. Matanya terus menatapi ikat
pinggang yang tergantung di belakang pintu kamarnya. Saat dia melihatnya,
kenangan-kenangan pahit di masa kecilnya terus terbayang. Tetapi, kenangan itu
tidak membuatnya berfikir untuk menghilangkan secuil pun kasih sayang kepada
bapaknya walaupun kini Ria hidup sebatang kara. Ria si galang (gadis malang).
Itulah sebutan yang cocok untuk Ria.
SELESAI
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar